Himpunan Mahasiswa Psikologi (HIMAPSI) Fakultas Ekonomi dan Sosial Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta (FES UNJAYA) menyelenggarakan Talk Show dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional. Tema yang diusung pada acara ini yaitu “Face Your Past and Deal with Your Inner Child” pada Sabtu, 30 Juli 2022 yang dilaksanakan secara daring melalui Zoom Meeting serta dihadiri 237 peserta.
Dalam sambutannya Dekan FES UNJAYA bapak Edhy Tri Cahyono, S.Si., M.M. menyambut baik dan mengapresiasi atas terselenggaranya kegiatan yang dilaksanakan oleh HIMAPSI ini. Beliau menyampaikan salah satu komponen pembentuk karakter seseorang adalah pengalaman hidupnya ketika anak-anak ataupun pola pengasuhan terhadap anak, yang berpengaruh akan munculnya inner child pada saat dewasa. Inner child tidak selalu sesuatu yang selalu bersifat negatif, ada juga individu yang mana figur inner child-nya bersifat positif. Ini dapat membantu individu menjadi stabil sebagai orang dewasa. Beliau berharap melalui talk show ini, dapat membantu untuk memahami dan mengatasi permasalahan atau kenangan yang kurang begitu baik, sehingga tidak menjadi hambatan untuk terus tumbuh, berkarya, dan berprestasi.
Narasumber pertama adalah Muhammad Erwan Syah, S.Psi., M.Psi., Psikolog. seorang Psikolog Pendidikan yang merupakan Dosen Psikologi FES UNJAYA. Dalam paparannya narasumber menyampaikan mengatasi inner child yang disebabkan oleh luka pengasuhan seperti broken home agar tidak menjadi permasalahan jangka panjang terhadap psikologis seorang anak. Karena sebagaimana kita ketahui bersama jika keluarga merupakan lingkungan yang terdekat serta memiliki peran penting dalam tumbuh kembang anak lebih baik lagi di masa yang akan datang khususnya dari segi kesehatan mental anak tersebut.
Narasumber kedua adalah Devina Priskila Zabrina, M.Psi., Psikolog., seorang praktisi yang memiliki keahlian pada Psikologi Klinis. Dalam paparannya beliau menyampaikan inner child ini ada dua, happy inner child dan wounded inner child. Wounded inner child ini dapat berupa pengabaian, kekerasan secara fisik maupun verbal, dan lain-lain. Idealnya, masa kecil dilalui dengan suka cita. Namun ada berbagai kondisi yang membuat hal tersebut tidak ideal. Sehingga masa kecil seseorang banyak meninggalkan luka atau trauma.
Jika dibiarkan wounded inner child ini akan memberi efek di kehidupan saat dewasa. Bisa jadi pola asuh yang tidak pas dari orang tua, akan diterapkan pula ke anak-anak nanti. Dan akan menjadi sebuah lingkaran persoalan yang tidak ada habisnya.
Beliau menegaskan, apabila memiliki wounded inner child, maka yang perlu dilakukan adalah reparenting terhadap diri sendiri untuk menyembuhkan luka batin yang dialami. Jika rasa sakit masih dirasakan, berarti ada pesan yang belum diterima. Sehingga perlu membuka diri untuk merasakan sakit dan menangkap pesan yang ada.